Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Patah Hati Bukan Perkara Sederhana

Seorang teman pernah berkata kepada saya, "Jika kamu merasa sedih, jangan dipendam saja. Tumpahkan apa yang kamu rasakan. Kamu bisa apa? Menulis? Tuliskan perasaanmu." Maka sekarang saya di sini akan menulis apa yang saya rasakan dan saya harap kamu tidak bosan. Saya akui patah hati bukanlah perkara mudah. Tidak mudah menerima kenyataan bahwa kisah cinta berakhir tidak seperti yang kita bayangkan. Tidak mudah juga untuk tidak mengingat-ingat hal indah yang pernah terjadi di masa lalu. Menyibukkan diri mungkin bisa membuat kita lupa sejenak, tapi ketika kegiatan itu terhenti, semua kembali terkenang. Setidaknya itu berlaku buat saya. Berlaku seakan semua baik-baik saja juga bukan merupakan solusi. Ada satu titik di mana kita lelah berpura-pura dan runtuhlah semua benteng semu yang telah kita buat selama ini. Bagaikan membangun menara dengan fondasi yang asal lalu disentuh sedikit, dia pun oleng dan jatuh. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa hati kita masih bobrok. La

Gara-gara Kopi

Kekecewaan itu bisa dimulai dari kamu sudah bersemangat, karena hari ini akan memesan kopi dengan varian favoritmu (di kedai kopi yang sebenarnya enggak terlalu kamu sukai, tapi karena mereka menawarkan promo 50% setiap bulan, jadi kamu menanggalkan seluruh egomu dan belanja di sana), tetapi pesanan yang datang itu tidak sesuai dengan keinginan kamu. Kamu memesan kopi dingin, tetapi yang disajikan adalah kopi panas. Kamu sudah mengharapkan kopi itu bisa menyejukkan dahagamu di paginya Jakarta yang sangat terik, tapi sang barista memberikan kopi yang bisa membuat kamu semakin berkeringat. Ia meminta maaf karena kesalahannya dan menawarkan untuk membuat kopi yang baru, tetapi karena kamu sedang diburu waktu, jadi kamu menyarankan, "Sudah, mbak, ditambahkan es batu aja." Lalu apa yang kamu dapat sekarang? Kopi anyep. Panas tidak, namun dingin pun tidak mendekati. Enak? Tentu saja jauh dari harapan. Kamu menimang-nimang langkah berikutnya yang akan kamu ambil: kamu akan kembal

Cinta Bersemi Kembali

Kamu tahu rasanya cinta yang bersemi kembali? Rasanya seperti ketika kamu berada di tengah musim kemarau yang panjang, lalu tiba-tiba hujan turun. Ia tidak turun dalam deras, tapi perlahan jatuh dalam gerimis. Pertama ia jatuh di atas ubun-ubunmu, lalu perlahan membasahi rambut yang hitam legam. Butiran-butiran berikutnya mulai jatuh ke atas kulitmu, mulai dari wajah, lalu turun ke leher, melewati tulang selangkamu, dan akhirnya menyambahi dadamu. Ia tidak tergesa-gesa dan memaksa, karena ia ingin kamu menikmati setiap tetesannya. Walaupun mungkin ada rasa kesal karena penampilanmu bisa menjadi kuyu karenanya, tapi kamu tidak bisa memungkiri kalau kau rindu padanya. Belum lagi sensasi petrikor yang ia buat setelah ia merebahkan diri di tanah gersang itu. Ah, nikmat. Kau bisa menghabiskan waktu yang lama hanya untuk berdiam diri mengamati ia membuat tanah itu bisa bernapas lagi. Mungkin bau kopi di pagi hari bisa kalah nikmat bila dibandingkan dengan bau hujan ini. Genangan-genang

Jakarta

Beberapa orang mengutuk ramainya Jakarta, tapi beberapa orang mengagumi perkembangannya. Beberapa orang ingin kabur dari Jakarta, tapi beberapa ingin tinggal dan berjuang. Ada yang berubah ketika bergaul dengan Jakarta, tapi ada juga yang menolak bentukkannya. Banyak yang bilang kalau Jakarta itu keras, dan sayangnya itu memang benar. Beberapa bilang itu berlebihan, tapi, oh, cobalah untuk tinggal sejenak, kawan. Banyak kejutan yang ditawarkan oleh kota serba ada ini. Kemewahan, gerakan super cepat, keangkuhan. Keramaian, asap knalpot, tapi ada juga tawa. Sebagian cinta dengan Jakarta, sebagian muak, sebagian biasa saja. Lalu, kamu termasuk yang mana?

Tanpa Syarat

Siang ini ia melihat mataku yang mulai berkaca-kaca. Ia menggenggam tanganku dan berkata, "Kamu perempuan yang kuat." Di saat itu saya tahu, saya memiliki seseorang yang setia di samping saya. Sejenak saya ingin memperkenalkan sosok yang selalu ada selama 8 tahun ini. Ia bisa dibilang sahabat yang tidak pernah surut kehadirannya sejak tahun 2007. Saya ingat pertama kali bertemu dengannya itu ketika kami sama-sama ada di satu ruang ibadah yang sama. Saat itu saya sedang bertugas menjadi pemimpin ibadah dan ia sedang tidak bertugas, jadi ia duduk di bangku jemaat. Ia terlihat sangat dewasa dan pendiam untuk seumurannya. Saya merasa segan. "Aku dulu tidak menyukaimu. Kamu semacam cacing kepanasan yang tidak bisa diam. Aku jadi pusing melihatmu." Kira-kira itu yang terlontar dari mulutnya ketika kami mulai dekat sebagai teman. Saya hanya bisa tertawa dan menggerak-gerakan badan saya, menggodanya. "Tapi sekarang aku bersyukur bisa mengenalmu," lanjutnya

Ulang Tahun

Anak perempuan itu mematut dirinya di depan cermin. Ia memerhatikan pantulan tubuhnya di sana seakan memastikan penampilannya tetap baik-baik saja. Rambutnya yang panjang bergelombang terikat setengah dan ia mengikatnya dengan pita hijau transparan. Tubuhnya terbalut gaun berbahan batik dengan panjang setengah betis. Sejauh ini, inilah gaun yang menurutnya paling cantik yang pernah ia kenakan. Sekali lagi ia merapikan rambutnya dan menyelipkan sebagian ke belakang daun telinganya. Ia mengangguk kecil dan beranjak pergi. Ia berdiri diam di depan pintu gereja itu. Cukup lama ia memandangi pintu gereja yang sudah terbuka sedikit, sehingga ia bisa melihat sedikit suasana di dalamnya. Ada rasa ragu dalam hatinya apakah ia harus melangkahkan kakinya masuk atau diam saja di tempatnya berdiri. Namun lamunannya buyar seketika ketika seorang teman menggandeng tangannya dan mengajaknya untuk masuk ke dalam. "Ayo, sudah mau di mulai," katanya. Wajahnya tersenyum dan mengikuti langkah

Sejenak

Buntu. Malam ini aku mencoba untuk merangkai kata lagi, namun apa daya sepertinya hati ini menolak. Ia menolak untuk berbagi apa yang dirasakannya sekarang.  Sedih? Sepertinya tidak juga. Marah? Sudah reda juga kalau dirasa-rasa. Datar? Mungkin iya. Mungkin itu sebabnya aku kehabisan kata-kata. Tapi sepertinya buntu ini bisa menjadi hal yang menyenangkan. Aku bisa meluangkan waktuku untuk berdiam, untuk memberikan ruang istirahat bagi akal. Mungkin besok aku bisa menulis lagi. Menulis tanpa arah layaknya roh yang terbang lepas. Ia tidak terikat oleh daging. Ia bebas.

Tolong

Dia pergi memberi luka dalam. Memberi sesak, mual, tangis. Tapi anehnya aku mengingikannya kembali. Bukan untuk kugenggam tangannya, tapi sekedar teman berbincang. Temanku berkata, "Buat apa? Ia akan menyakitimu lagi nanti." Diam-diam setiap malam kupanjatkan ingin. Aku ingin ia kembali. Oh, Tuhan akhirnya mendengar doaku! Ia kembali, tapi bukan untuk kugenggam tangannya. Hanya untuk kupandang, dari jauh dan dalam diam. Suatu malam ia menawarkan kembali persahabatan Ganjil, namun kusambut bahagia. Kuundang kembali ia masuk. Tapi bukannya masuk dengan bilang, "Permisi," ia justru mendobrak masuk. Ia memorak-porandakan semuanya. Semua. Semua. Aku mencoba berteriak dan memohon padanya untuk berhenti, tapi ia hanya tersenyum simpul dan menatapku dengan bengis. Aku hanya bisa berpikir, "Mengapa? Apa ini karena doaku? Apa aku memanjatkan doa yang salah?" Lalu tiba-tiba ia berhenti dengan terengah-engah. Ia menunjukkan kepuasannya, se

Tanpa Judul

Ketika mereka ingin pergi, biarkan. Biarkan mereka pergi. Jangan sesekali coba untuk menahannya Karena pada akhirnya kita akan berjuang sendirian. Ketika mereka menginginkan lebih biarkan mereka pergi mencari yang lebih Jangan tawarkan lebih ketika kita tidak sanggup memenuhinya, karena pada akhirnya kita yang akan merasa sesak. Ketika mereka menyerah, pulanglah. Walau gontai, pulanglah. Tidak ada gunanya berdiri di tempat yang sama dan terdiam. Mundur sedikit pun tidak menjadi masalah. Ketika sudah terlalu lelah, berbaringlah. Berbaringlah dan hirup sedalam-dalamnya, biarkan udara itu mengalir dalam tubuh dan menyapu bersih rasa bencimu.

I Was A DUFF

I was a DUFF. Designated Ugly Fat Friend. Being in a group of popular people might be some achievements for someone - and for me at that time. Pretty girls, sassy and being 'respected' around the junior students, like we have special power over the others. I thought I was one of the popular until I watch a movie, DUFF. This movie is telling about a status of someone in a group. In that group, there must be someone who is not so popular and unattractive. They are being used to be the informant for the boys who want to make a move on their popular friends. And.... I was a DUFF when I was in junior high school. Besides being an informant, I used to be their source of happiness for they made fun of me. They gave me nicknames and made fun of it. Only those who care enough would defend me and they were not my friends in the group..  I was ugly back then, I admit it. Sometimes I feel ashamed of how I looked. I deleted most of my junior high school pictures from my face

Kasihan ya, makannya 'hanya' tempe...

Sepertinya sangat gampang untuk mengasihani orang lain. Ketika melihat seseorang tidak bekerja di perusahaan yang besar, atau perusahaan yang "biasa saja," kadang orang lebih mudah untuk mencetuskan kalimat, "kenapa enggak kerja di sana aja? Gajinya kan lebih besar, ada jaminan kesehatan juga. Pokoknya hidup kita terjamin, deh!" Kita belum sempat bertanya, "bahagia enggak kamu kerja di sana?" atau bertanya, "Kamu nyaman ya dengan pekerjaanmu?" karena kebanyakan orang mengukur kenyamanan dan kebahagiaan hidup dari materi yang dimiliki. Perkenalkan. Nama saya Audrey Gabriella. Umur 26 tahun dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Saya seorang penerjemah lepas dan admin akun media sosial lepas juga. Penghasilan saya tidak tetap. Kesibukan saya yang pasti adalah belajar bahasa Perancis sampai saya mendapatkan diploma DELF B2 agar dapat melanjutkan sekolah S2 di Perancis pada tahun 2016. Apakah saya bahagia? Sejauh ini iya dan saya cukup bangga akan apa

Kapan menikah? Kapan? Kapan-kapan

"Kalau anak laki-laki sih enggak apa-apa menikahnya lama. Tapi kalau anak perempuan, mendingan cepet-cepet menikah, deh. Jangan sampai keenakan kerja terus lupa menikah, tau-taunya udah umur 40 tahun!" Begitulah kira-kira kalimat yang dilontarkan oleh seorang tante di gereja saya. Namun bukan dia saja yang berpikir demikian, tapi memang banyak kok ibu-ibu lainnya yang sering berpendapat yang sama. Dan saya sebagai salah satu perempuan single di tengah-tengah mereka pun merasa....baiklah. Menikah. Pernikahan. Satu hal yang banyak diimpikan banyak anak perempuan. Bahkan saya dari kecil sudah bisa membayangkan akan seperti apa pernikahan saya nanti. Garden party yang hanya dihadiri maksimal 150 orang, dengan live music , keluarga dan teman-teman membaur dan semalaman menikmati musik dan berdansa. Tipikal wedding scene di film-film romcom. Pokoknya saya juga bisa membayangkan gaun putih yang membalut tubuh saya nantinya seperti apa. Tapi seiring dengan bertambah dewa

Kenapa sekolah lagi, sih?

Ketika pertama kali saya bikin blog ini, tujuannya cuma satu yaitu punya online diary . Saya punya buku diary juga, tapi karena waktu itu lagi nge- trend bikin blog, saya akhirnya bikin juga. Enggak tahu kenapa, saya ini orangnya gampang banget terpengaruh sama orang lain, sejak kecil. Saya ingat ibu saya pernah bilang kalau dia lebih suka dengan teman-teman saya waktu SMA daripada waktu SMP. Ketika saya tanya alasannya, dia bilang kalau teman-teman saya di SMA sangat membantu saya punya prestasi akademis yang baik. Namun kalau diingat lagi, prestasi akademis saya selalu pas-pasan, dari SD sampai waktu SMA. Tapi satu yang saya ingat, kalau saya menikmati banget kegiatan belajar. Going to school gave me happiness. Nilai ujian saya jarang di atas 7, kecuali untuk bahasa Inggris dan agama. Saya masuk jurusan IPA, tapi nilai Kimia, Fisika, Biologi, dan Matematika saya selalu, ya....begitu. Beruntung banget punya sahabat-sahabat yang bisa dibilang ambisius dalam belajar. Jadi ketika saya s

2015. Yuhuu!

Where should I start? Setelah lama banget enggak menulis di blog ini, akhirnya saya memutuskan buat nulis lagi. Sebenarnya bingung mau mulai nulis tentang apa karena banyak banget yang mau saya ceritain. Wajarlah ya, terakhir nulis itu bulan September 2014. Yes, it's lame. Hmmm....okay, I know! 1. I quit my job True. I quit my job as a reporter last month. Banyak yang nanya saya pindah kerja ke mana dan masih kerja di media apa enggak. Kenyataannya adalah...saya belum bekerja lagi untuk waktu yang cukup lama. Jadi saya ngapain dong? Nanti saya ceritain. Berhentinya saya dari kerjaan saya bukan karena saya sudah enggak betah lagi. Saya suka banget sama kerjaan saya dan benar-benar nyaman bekerja di lingkungan yang super santai. Tapi ada satu titik di mana saya merasa terjebak dalam zona nyaman itu sendiri. Saya orang yang paling takut dengan zona nyaman, saya takut terlena. Saya pun semakin sadar kalau zona nyaman saya ini justru bikin saya semakin jauh dengan rencana saya ber